Bulan Februari. Konon katanya, bagi lebih dari satu orang, bulan ini merupakan bulan cinta. Berdasarkan kisah kuno tentang Saint Valentine, yang selanjutnya digadang-gadangkan menjadi Hari Valentine, hari kasih sayang. Tanggal 14 Februari yang santer itu lah dia.

Oh, bukan, Chingu! Saya bukan ingin membahas tentang Hari Valentine tersebut. Namun, boleh lah sedikit dikait-kaitkan. Februari, hari kasih sayang, drakor romance yang paling relate, betul? Nah, udah dapat ditebak, dong, lebih kurang genre apa yang bakal saya angkat kali ini. Uhuk, romansa. Aih, sangat drakor sekali, kan?

Namun, romance satu ini bukan sekadar romance, loh, Chingu! Karena, ada topik tertentu yang diusung berasal dari film yang bakal saya ulas ini. Dan, dapat dibilang, topiknya pun agak-agak kontroversial, loh! Hayah, semakin penasaran? Check this out­! Sekilas Tentang Film “Love plus Leashes” Lagi-lagi membahas film sekali jadi, eh, sekali beres.

Lagi-lagi juga, film rilisan Netflix. Mengambil judul Love plus Leashes (dengan judul asli 모럴센스) lengkap bersama dengan poster filmnya yang menyebabkan banyak asumsi.

Semakin sempurna bersama dengan maturity rating 18+ yang membawa dampak calon penontonnya mengira-ngira, “Wah, ini kayaknya film cabul, deh?” dan sejenisnya. But, wait! Apakah benar film jebolan webcomic yang ditulis oleh Gyeowool ini secabul atau semesum itu?

Hoho, don’t ever judge a book by its cover, don’t review a movie by its poster. Karena selama kurang lebih 117 menit, saya tidak menemukan serupa sekali naked scene. Physical touch paling hebohnya cuma semata-mata kissing, kok. Itu pun bahkan di akhir film saja (spoiler alert).

Namun, dikarenakan mengangkat isu kesegaran mental tentang BDSM (Bondage, Dominance, Sadism, Masochism) Relationship¸ sebetulnya terdapat lebih dari satu adegan yang kurang baik untuk disimak oleh pemirsa berusia 18 tahun ke bawah. Meski pun tanpa vulgarisme (dibandingkan bersama dengan film sejenis ala negara-negara anggota barat).

Serupa Tapi Sangat Jauh Berbeda bersama dengan Fifty Shades of Grey Banyak yang berkomentar jikalau film Love plus Leashes ini merupakan film Fifty Shades of Grey versi Asia (Korea secara khusus). Namun, menurut saya, kontennya sangat jauh berbeda.

Meski pun sama-sama mencomot isu BDSM, namun plotting karakter, alur, mau pun penyajiannya tidak dapat disamakan. Jika di film Fifty Shades of Grey, pemeran pria yang menjadi anggota dominant (pihak yang berkuasa) dan condong bahagia ‘menyakiti’ lawan mainnya, di Love plus Leashes ini justru sebaliknya.

Jung Ji Hoo (oleh Lee Jun Young) yang merupakan manajer baru di divisi tempat Jung Ji Woo (oleh Seohyun) bekerja, mengidap BDSM bersama dengan kecenderungan sebagai pihak submissive (pihak yang patuh).

Sedangkan Ji Woo diekspresikan sebagai perempuan lugas yang tidak pandai didalam urusan cinta.

Mereka tertarik satu serupa lain (ala drama Korea Selatan kebanyakan).

Karena ketertarikannya, Ji Woo pun melacak memahami lebih banyak tentang BDSM dan selanjutnya membawa dampak kontrak bersama dengan Ji Hoo untuk coba jalinan BDSM berikut selama tiga bulan. Ji Woo ternyata nikmati perannya sebagai pihak dominant, dan pasti saja membawa dampak perasaannya untuk Ji Hoo semakin dalam.

Namun, sementara Ji Woo memperlihatkan perasaannya, Ji Hoo justru menampik Ji Woo (padahal lelaki berikut termasuk menyukai Ji Woo). Nah, kan?

Hayoloh, kenapa, ya, lebih kurang Ji Hoo menampik Ji Woo? Dan bagaimana akhir berasal dari kisah mereka?

Edukasi Mengenai BDSM bersama dengan Cara Khas ala Drakor Film yang disutradarai oleh Park Hyun Jin ini, menurut saya, sukses mengimbuhkan gambaran tentang situasi BDSM bersama dengan cara ‘lebih sopan’.

Menyajikan isu BDSM bersama dengan tidak menitikberatkan pada kesibukan seksual. Pelaku BDSM itu sendiri bukan cuma merasa bahagia bersama dengan kehidupan seksual yang berdasarkan kesibukan BDSM itu sendiri saja. Namun, di kehidupan sehari-harinya pun mereka menemukan kebahagiaan bersama dengan cara tersebut.

Misalkan, Ji Hoo yang seorang manajer, senantiasa merasa bahagia jikalau Ji Woo memerintah dia (atau berpura-pura memerintah) dan bahkan menyakitinya. Ya, benar, di luar konteks kesibukan seksual, loh, Chingu! Selain latar cerita yang dibikin sangat sehari-hari (bukan tentang birahi wahaha), ceritanya pun dibikin lucu dan kental bakal unsur komedi sampai Drama Korea Tamat.

Sangat tidak serupa jauh, kan, bersama dengan film ala baratnya? Namun, justru cara itu sukses mengimbuhkan pemahaman bagi penontonnya, tentang isu yang di angkat tersebut, bersama dengan lebih sederhana. Selain itu, membawa dampak saya teristimewa pun, menjadi tidak lihat sebelah mata atau antipati pada situasi BDSM.

Seriously, BDSM bukan mesum, ya! Kesimpulannya, YAY or NAY? Nah, secara keseluruhan, film ini cukup menarik. Terutama berasal dari segi konten atau topik yang diusung. Namun, bagi saya pribadi, di paruh sementara awal, saya merasa agak bosan.

Mungkin dikarenakan alurnya sangat lambat? Atau situasi yang sangat monoton dan ‘kurang jelas’ (atau mungkin saya yang agak lemot sebetulnya haha)? Semua beralih di paruh sementara kedua. Alurnya semakin memahami dan menarik.

Makin menegangkan termasuk dikarenakan problematika merasa bermunculan (terlalu bahagia bersama dengan permasalahan-permasalahan hidup saya tuh orangnya haha). Jadi, apakah YAY atau NAY? Jawabannya adalah TERGANTUNG.

Jika Chingu-deul cukup penasaran bersama dengan ulasan super sedikit saya, sangat boleh sekali ditonton untuk menemani kesibukan #dirumahsaja didalam menolong program PPKM level 3 di lebih dari satu wilayah di Indonesia. Stay happy, stay healthy, Chingu-ya!